Minggu, 04 Maret 2018


Pentingnya Melakukan  “Literasi Budaya” di  Sekolah
Dalam Menghadapi Era Digital
Oleh Latifa Tulnovidasari, S.Pd.I
Apa yang terlintas dibenak anda saat mendengar kata literasi?” membaca buku”, iya tepat sekali. Literasi adalah  membaca buku . istilah literasi  kini terdengar begitu familiar  terlebih lagi saat bapak Satria Dharma menggagas gerakan literasi sekolah yang sekarang menjadi program nasionalnya Kemendikbud,hal ini kemudian dituangkan kedalam Permedikbud No 23 tahun 2015 adapun salah satu kegiatan dari gerakan tersebut adalah membaca buku diluar buku pelajaran  selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Buku non mata pelajaran yang diharapkan untuk di jadikan bahan literasi adalah buku buku yang berisi tentang nilai nilai budi pekerti, kearifan budaya lokal dan global namun disampaikan dalam kemasan bahasa menarik sesuai dengan usia perkembangan peserta didik.
Rendahnya daya analisis, hilangnya sikap kritis serta minimnya rasa ingin tau terhadap suatu ilmu pengetahuan merupakan beberapa alasan yang melatarbelakangi  munculnya gerakan literasi. Masyarakat Indonesia dari kecil tidak dibiasakan melakukan literasi sehingga rasa ingin tahunya sangat minim sekali. Mereka dibiasakan mendengar  baik itu tentang berita, nasihat, himbauan dan lain lain. Hal ini menyebabkan terkikisnya sikap kritis yang sesungguhnya sudah dimiliki oleh setiap manusia sejak ia lahir.
 Pelan tapi pasti saat ini sebagian  sekolah sudah mulai menjalankan gerakan literasi, namun literasi hanya dipahami dengan sekedar membaca buku kemudian meresensi buku yang sudah mereka baca. Padahal literasi memiliki arti lebih dari sekedar membaca buku,karena literasi juga mencakup kemampuan untuk mengenali dan memahami ide ide yang disampaikan secara visual. Adapun literasi yang sudah mencapai tahapan tersebut dinamakan dengan HOTS Literasi ( High Order Thinking Skill)
Pada dasar nya objek yang  dapat dijadikan bahan atau sumber literasi tidak hanya terpaku pada buku belaka. Bidang bidang keilmuan lainnya juga dapat dijadikan objek literasi seperti kesehatan, komunikasi, pendidikan,  pertanian dan masih banyak lagi objek yang dapat dijadikan sebagai bahan atau sumber literasi
Baru baru ini sedang booming tentang literasi digital, dimana para literate sadar tentang pentingnya melek teknologi canggih. Mudahnya akses setiap aplikasi terutama dibidang komunikasi dimanfaatkan oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab untuk  menyebarkan  berita hoax memfinah mengadudomba menyebarkan kebencian , melakukan penipuan bahkan sampai melakukan aksi teror dan lain lain.  Maka dari itu para literate merasa perluh untuk melakukan literasi digital.
Adapun dampak dari literasi digital adalah munculnya individu yang cakap dalam mengelolah teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses , mengintegrsikan dan menganalisis bahkan sampai pada tingkat mengevaluasi sebuah informasi sehingga dapat membangun informasi baru dan mampu berkomunikasi serta  berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat
Di era digital yang serba canggih  ini rupanya banyak melahirkan sifat individualis  pada masyarakat, hal ini tentu sangat bertentangan dengan budaya  negeri agraris ini. Hampir semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan cara yang begitu mudah dan cepat bahkan masa depan seseorang kini terletak pada ujung jarinya
Sebagian orang  terutama orang tua yang sudah ,maupun belum memiliki anak sudah mulai resah dengan era digital ini . Mereka mulai merasakan dampak dari era digital kemudian mulai membandingkan dengan indahnya masa kecil yang ia nikmati tanpa adanya makhluk digital. Seolah olah mereka ingin anak anaknya merasakan masa kecilnya yang sangat indah dan mengesankan, namun lidahnya terlalu keluh untuk mengucapkannya
Kegalauan para orang tua saat menghadapi era digital  mengalahkan galaunya ABG yang masih baru berkenalan dengan asmara. Mereka tidak ingin anak anaknya terpengaruh pada benda benda digital terutama alat komunikasi ,karena dampak dan pengaruh negative dari benda  tersebut sangat besar . Namun mereka juga tidak melarang  menggunakannya karena mereka sadar bahwa ia tidak boleh menyamakan masanya dengan masa masa anaknya yang hidup di era digital.  Yang bisa mereka lakukan adalah memberikan batasan terhadap pemakaiannya
Seminar tentang parenting, mengatasi kecanduan pada barang digital atau lebih tepatnya lagi game online yang nangkring di benda digital kali ini sangat digandrungi berbragai kalangan terutama remaja kerap diadakan oleh lembaga lembaga pendidikan dan lembaga sosial. Hal ini dilakukan untuk meredam dampak yang di timbulkan oleh era digital seperti saat ini
Para literate, praktisi pendidikan, kepala sekolah guru dan siapapun  yang berkecimpung di dunia pendidikan sangat diharapkan perannya untuk menciptakan  sebuah inovasi baru dalam melakukan gerakan literasi di sekolah. Sebagaimana yang telah di paparkan diatas bahwa banyak sekali objek yang dapat dijadikan bahan literasi. Maka dari itu selain peran, kekreatifan dan keterampilan dalam memilih sumber literasi sangat dibutuhkan karena hasil dari gerakan inovasi tersebut diharapkan mampu menghadapi era digital yang sedang ramai dibicarakan solusinya.
Mari rileks sejenak, lihatlah sebuah sekolah yang sampai saat ini masih mempeetahankan kearifan lokal daerah di sekolahnya. Bahkan sampai memasukkannya kedalam kurikulum yang berlaku disekolahnya. jika kita ingat –ingat kembali  himbauan dari GLS adalah , membaca buku buku non pelajaran yang salah satunya berisi tentang kearifan budaya lokal dan global namun disampaikan dalam kemasan bahasa menarik sesuai dengan usia perkembangan peserta didik.
Kearifan budaya local mempunyai beragam jenis,para pembuat kebijakan disekolah dapat menyesuaikan dengan kultur yang ada disekolahnya karena tidak ada patokan dalam melakukan gerakan literasi budaya disekolah. Seperti permainan budaya lokal, membatik, memainkan alat musik tradisional seperti gamelan degung angklung seruling dan lain lain dari kearifan lokal tersebut dapat dijadikan sumber literasi. Kearifan local yang dikemas dengan cara yang asik dan menyenangkan dapat menarik perhatian siswa yang sudah mulai kehilangan jati diri bangsanya.
Gerakan melek  budaya atau literasi budaya merupakan kegiatan yang harus diterapkan pada lembaga lembaga pendidikan, terutama pada lembaga formal yang bernama Sekolah, karena suasana dan iklim yang ada disekolah sangat mendukung untuk untuk dijadikan pelopor utama dalam melakukan gerakan litersai budaya .
Jauh sebelum maraknya kata literasi rupanya Sekolah Cakra Buana Depok   sudah melakukan HOTS literasi budaya.  Para pembuat kebijakan pendidikan yang ada disekolah tersebut sudah memiliki kesadaran tingkat tinggi untuk melestarikan salah satu budaya Indonesia yang kini sudah mulai digandrungi oleh negara negara maju lainnya. Gamelan adalah Alat musik tradisional yang dipilih untuk  dijadikan objek literasi pertama kali pada sekolah tersebut
Mengapa gamelan? Selain alat musik tradisional yang harus dilestarikan , gamelan merupakan paduan suara musik yang mempunyai satu kesatuan utuh saat dibunyikan secara bersama sama, sehingga  mampu memberikan sebuah ciri khas tersendiri.  Selain itu didalamnya mengandung nilai-nilai luhur sebagai identitas jati diri bangsa Indonesia diantaranya  adalah kebersamaan, gotong royong, toleransi, percaya diri, saling menghargai dan memupuk sikap persatuan dan kesatuan.
Literasi budaya gamelan ini sudah di integrasikan kedalam kedalam kurikulum sekolah. Materinya dikemas secara apik dan menarik serta disesuaikan dengan kultur sekolah dan  usia perkembangan peserta didik. Tempat memainkan gamelanpun berada di pendopo yang cukup luas sehingga siswa sangat nyaman tanpa merasa kesempitan. Area sekitar gamelan ditanami beraneka pohon dan rumput yang ditata rapi dan indah. Para siswa benar benar dibuat seolah olah  mereka sedang berada di daerah Jawa tengah sambil menikmati keasrian dan keindahan alamnya sehingga mereka sangat enjoy saat memainkan gamelan. Tenaga pendidik gamelanpun berasal dari jawa tengah yang mempunyai banyak  pengalaman dalam mengajar gamelan. Selain mengajar siswa siswi  disekolah beliau juga mengajar sekelompok orang orang jepang yang sengaja tinggal di Indnesia untuk mempelajari gamelan.
Dalam rangka memupuk rasa cinta terhadap budaya bangsa Indonesia literasi budaya gamelan ini di jadikan program sekolah yang masuk kedalam intrakurikuler dan wajib di ikuti oleh setiap siswa, karena setiap tiga bulan sekali hasil dari pelajaran gamelan di tuangkan kedalam raport . Setiap siswa mendapat kesempatan bermain gamelan selama kurang lebih lima puluh menit setiap dua minggu sekali.
Didalamnya memuat berbagai macam pengetahuan tentang gamelan mulai dari nama nama alat musik gamelan , cara memegang alat musik gamelan,  memukul gamelan, teknik dasar bermain gamelan, sampai teknik lanjutan bermain gamelan , nyinden ala siswa terkadang juga di praktikan untuk mengiringi gamelan tersebut, banyak sekali tembang tembang jawa yang dijadikan pengiring gamelan seperti tembang lir-ilir, getuk asale soko telo dan lain-lain.
Suara musik gamelan yan dimainkan oleh siswa seolah olah menyampaikan pesan bahwa” kami sangat bangga melestarikan warisan nenek moyang kami”. Dengan melakukan gerakan litearsi budaya di sekolah, Lembaga pendidikan Cakra Buana Depok telah turut berkontribusi dalam  meredam kuatnya arus budaya global di era digital yang sudah mulai menghilangkan budaya budaya lokal atau nasional.
Tangan tangan mungil  para siswa yang memainkan alat musik gamelan tak henti berlatih meskipun terkadang  terasa sedikit letih demi langgengnya sebuah identitas bangsa, tangan tangan mungilnya juga berharap semoga hasil tabuhannya dapat menjadikan sebuah



Gambar siswa kelas 6c bermain gamelan  
Dengan rasa bangga dan percaya diri
 
 



Gerakan literasi budaya diadakan di sekolah bukan sedang mencari sensasi pada dunia pendidikan, literasi budaya dilakukan karena ingin melahirkan generasi penerus bangsa yang mempunyai kemampuan yang baik dalam memahami dan menyikapi kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa.
Sekolah kami sudah melaksanakannya, bagaimana dengan sekolah kamu?
Salam literasi.

Pentingnya Melakukan   “Literasi Budaya” di   Sekolah Dalam Menghadapi Era Digital Oleh Latifa Tulnovidasari, S.Pd.I Apa yang terlin...