Pentingnya Melakukan “Literasi
Budaya” di Sekolah
Dalam Menghadapi Era Digital
Oleh Latifa Tulnovidasari, S.Pd.I
Apa yang terlintas dibenak anda saat mendengar kata literasi?” membaca buku”,
iya tepat sekali. Literasi adalah membaca buku . istilah literasi kini terdengar begitu familiar terlebih lagi saat bapak Satria Dharma menggagas
gerakan literasi sekolah yang sekarang menjadi program nasionalnya Kemendikbud,hal
ini kemudian dituangkan kedalam Permedikbud No 23 tahun 2015 adapun salah satu
kegiatan dari gerakan tersebut adalah membaca buku diluar buku pelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai.
Buku non mata pelajaran yang diharapkan untuk di jadikan bahan literasi adalah
buku buku yang berisi tentang nilai nilai budi pekerti, kearifan budaya lokal
dan global namun disampaikan dalam kemasan bahasa menarik sesuai dengan usia
perkembangan peserta didik.
Rendahnya daya analisis, hilangnya sikap kritis serta minimnya rasa
ingin tau terhadap suatu ilmu pengetahuan merupakan beberapa alasan yang
melatarbelakangi munculnya gerakan
literasi. Masyarakat Indonesia dari kecil tidak dibiasakan melakukan literasi
sehingga rasa ingin tahunya sangat minim sekali. Mereka dibiasakan
mendengar baik itu tentang berita,
nasihat, himbauan dan lain lain. Hal ini menyebabkan terkikisnya sikap kritis
yang sesungguhnya sudah dimiliki oleh setiap manusia sejak ia lahir.
Pelan tapi pasti saat ini
sebagian sekolah sudah mulai menjalankan
gerakan literasi, namun literasi hanya dipahami dengan sekedar membaca buku
kemudian meresensi buku yang sudah mereka baca. Padahal literasi memiliki arti
lebih dari sekedar membaca buku,karena literasi juga mencakup kemampuan untuk
mengenali dan memahami ide ide yang disampaikan secara visual. Adapun literasi yang
sudah mencapai tahapan tersebut dinamakan dengan HOTS Literasi ( High Order
Thinking Skill)
Pada dasar nya objek yang dapat dijadikan
bahan atau sumber literasi tidak hanya terpaku pada buku belaka. Bidang bidang
keilmuan lainnya juga dapat dijadikan objek literasi seperti kesehatan,
komunikasi, pendidikan, pertanian dan
masih banyak lagi objek yang dapat dijadikan sebagai bahan atau sumber literasi
Baru baru ini sedang booming tentang literasi digital, dimana para
literate sadar tentang pentingnya melek teknologi canggih. Mudahnya akses
setiap aplikasi terutama dibidang komunikasi dimanfaatkan oleh beberapa oknum
yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan
berita hoax memfinah mengadudomba menyebarkan kebencian , melakukan
penipuan bahkan sampai melakukan aksi teror dan lain lain. Maka dari itu para literate merasa perluh untuk
melakukan literasi digital.
Adapun dampak dari literasi digital adalah munculnya individu yang cakap
dalam mengelolah teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses , mengintegrsikan
dan menganalisis bahkan sampai pada tingkat mengevaluasi sebuah informasi
sehingga dapat membangun informasi baru dan mampu berkomunikasi serta berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat
Di era digital yang serba canggih
ini rupanya banyak melahirkan sifat individualis pada masyarakat, hal ini tentu sangat
bertentangan dengan budaya negeri
agraris ini. Hampir semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan cara yang
begitu mudah dan cepat bahkan masa depan seseorang kini terletak pada ujung
jarinya
Sebagian orang terutama orang tua
yang sudah ,maupun belum memiliki anak sudah mulai resah dengan era digital ini
. Mereka mulai merasakan dampak dari era digital kemudian mulai membandingkan
dengan indahnya masa kecil yang ia nikmati tanpa adanya makhluk digital. Seolah
olah mereka ingin anak anaknya merasakan masa kecilnya yang sangat indah dan
mengesankan, namun lidahnya terlalu keluh untuk mengucapkannya
Kegalauan para orang tua saat menghadapi era digital mengalahkan galaunya ABG yang masih baru berkenalan
dengan asmara. Mereka tidak ingin anak anaknya terpengaruh pada benda benda
digital terutama alat komunikasi ,karena dampak dan pengaruh negative dari
benda tersebut sangat besar . Namun
mereka juga tidak melarang menggunakannya karena mereka sadar bahwa ia
tidak boleh menyamakan masanya dengan masa masa anaknya yang hidup di era
digital. Yang bisa mereka lakukan adalah
memberikan batasan terhadap pemakaiannya
Seminar tentang parenting, mengatasi kecanduan pada barang digital atau
lebih tepatnya lagi game online yang nangkring di benda digital kali ini sangat
digandrungi berbragai kalangan terutama remaja kerap diadakan oleh lembaga
lembaga pendidikan dan lembaga sosial. Hal ini dilakukan untuk meredam dampak
yang di timbulkan oleh era digital seperti saat ini
Para literate, praktisi pendidikan, kepala sekolah guru dan siapapun yang berkecimpung di dunia pendidikan sangat
diharapkan perannya untuk menciptakan sebuah inovasi baru dalam melakukan gerakan
literasi di sekolah. Sebagaimana yang telah di paparkan diatas bahwa banyak
sekali objek yang dapat dijadikan bahan literasi. Maka dari itu selain peran,
kekreatifan dan keterampilan dalam memilih sumber literasi sangat dibutuhkan karena
hasil dari gerakan inovasi tersebut diharapkan mampu menghadapi era digital
yang sedang ramai dibicarakan solusinya.
Mari rileks sejenak, lihatlah sebuah sekolah yang sampai saat ini masih
mempeetahankan kearifan lokal daerah di sekolahnya. Bahkan sampai memasukkannya
kedalam kurikulum yang berlaku disekolahnya. jika kita ingat –ingat kembali himbauan dari GLS adalah , membaca buku buku
non pelajaran yang salah satunya berisi tentang kearifan budaya lokal dan
global namun disampaikan dalam kemasan bahasa menarik sesuai dengan usia
perkembangan peserta didik.
Kearifan budaya local mempunyai beragam jenis,para pembuat kebijakan
disekolah dapat menyesuaikan dengan kultur yang ada disekolahnya karena tidak
ada patokan dalam melakukan gerakan literasi budaya disekolah. Seperti permainan
budaya lokal, membatik, memainkan alat musik tradisional seperti gamelan degung
angklung seruling dan lain lain dari kearifan lokal tersebut dapat dijadikan
sumber literasi. Kearifan local yang dikemas dengan cara yang asik dan
menyenangkan dapat menarik perhatian siswa yang sudah mulai kehilangan jati
diri bangsanya.
Gerakan melek budaya atau
literasi budaya merupakan kegiatan yang harus diterapkan pada lembaga lembaga
pendidikan, terutama pada lembaga formal yang bernama Sekolah, karena suasana
dan iklim yang ada disekolah sangat mendukung untuk untuk dijadikan pelopor
utama dalam melakukan gerakan litersai budaya .
Jauh sebelum maraknya kata literasi rupanya Sekolah Cakra Buana
Depok sudah melakukan HOTS literasi budaya. Para pembuat kebijakan pendidikan yang ada
disekolah tersebut sudah memiliki kesadaran tingkat tinggi untuk melestarikan salah
satu budaya Indonesia yang kini sudah mulai digandrungi oleh negara negara maju
lainnya. Gamelan adalah Alat musik tradisional yang dipilih untuk dijadikan objek literasi pertama kali pada
sekolah tersebut
Mengapa gamelan? Selain alat musik tradisional yang harus dilestarikan ,
gamelan merupakan paduan suara musik yang mempunyai satu kesatuan utuh saat
dibunyikan secara bersama sama, sehingga
mampu memberikan sebuah ciri khas tersendiri. Selain itu didalamnya mengandung nilai-nilai luhur
sebagai identitas jati diri bangsa Indonesia diantaranya adalah kebersamaan, gotong royong, toleransi,
percaya diri, saling menghargai dan memupuk sikap persatuan dan kesatuan.
Literasi budaya gamelan ini sudah di integrasikan kedalam kedalam
kurikulum sekolah. Materinya dikemas secara apik dan menarik serta disesuaikan
dengan kultur sekolah dan usia
perkembangan peserta didik. Tempat memainkan gamelanpun berada di pendopo yang
cukup luas sehingga siswa sangat nyaman tanpa merasa kesempitan. Area sekitar
gamelan ditanami beraneka pohon dan rumput yang ditata rapi dan indah. Para
siswa benar benar dibuat seolah olah mereka
sedang berada di daerah Jawa tengah sambil menikmati keasrian dan keindahan
alamnya sehingga mereka sangat enjoy saat memainkan gamelan. Tenaga pendidik
gamelanpun berasal dari jawa tengah yang mempunyai banyak pengalaman dalam mengajar gamelan. Selain
mengajar siswa siswi disekolah beliau
juga mengajar sekelompok orang orang jepang yang sengaja tinggal di Indnesia
untuk mempelajari gamelan.
Dalam rangka memupuk rasa cinta terhadap budaya bangsa Indonesia literasi
budaya gamelan ini di jadikan program sekolah yang masuk kedalam intrakurikuler
dan wajib di ikuti oleh setiap siswa, karena setiap tiga bulan sekali hasil
dari pelajaran gamelan di tuangkan kedalam raport . Setiap siswa mendapat kesempatan
bermain gamelan selama kurang lebih lima puluh menit setiap dua minggu sekali.
Didalamnya memuat berbagai macam pengetahuan tentang gamelan mulai dari nama
nama alat musik gamelan , cara memegang alat musik gamelan, memukul gamelan, teknik dasar bermain gamelan,
sampai teknik lanjutan bermain gamelan , nyinden ala siswa terkadang juga di
praktikan untuk mengiringi gamelan tersebut, banyak sekali tembang tembang jawa
yang dijadikan pengiring gamelan seperti tembang lir-ilir, getuk asale soko telo
dan lain-lain.
Suara musik gamelan yan dimainkan oleh siswa seolah olah menyampaikan
pesan bahwa” kami sangat bangga melestarikan warisan nenek moyang kami”. Dengan
melakukan gerakan litearsi budaya di sekolah, Lembaga pendidikan Cakra Buana
Depok telah turut berkontribusi dalam meredam
kuatnya arus budaya global di era digital yang sudah mulai menghilangkan budaya
budaya lokal atau nasional.
Tangan
tangan mungil para siswa yang memainkan
alat musik gamelan tak henti berlatih meskipun terkadang terasa sedikit letih demi langgengnya sebuah
identitas bangsa, tangan tangan mungilnya juga berharap semoga hasil tabuhannya
dapat menjadikan sebuah
|
Gerakan literasi budaya diadakan di sekolah bukan sedang mencari sensasi
pada dunia pendidikan, literasi budaya dilakukan karena ingin melahirkan
generasi penerus bangsa yang mempunyai kemampuan yang baik dalam memahami dan
menyikapi kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa.
Sekolah kami sudah melaksanakannya, bagaimana dengan sekolah kamu?
Salam literasi.